Oleh : Fory Armin Naway
Guru Besar FIP UNG dan Ketua PGRI Kab. Gorontalo
Dalam hidup ini banyak aspek yang menjadi rumusan dan formula dalam menggapai tata nilai yang ideal. Hal itu tidak terlepas dari status kita sebagai makhluk sosial yang senantiasa dituntut berinteraksi dengan orang lain.
Dalam kerangka itulah kemudian, setiap individu kita dituntut mawas diri, bercermin diri, introspeksi dan merefleksi diri agar segala sikap, tutur kata dan perilaku, justru tidak menjadi bumerang bagi diri bahkan keluarga.
Sebagai gambaran, tutur kata yang terucap dalam konteks pergaulan sehari-hari, misalnya, tidak bisa menjadi ukuran untuk menggambarkan tentang berbagai hal yang bergelayut dalam hati setiap orang. Karena terkadang ada ungkapan “telunjuk lurus kelingking berkait” lain di mulut lain di hati”.
Dalam konteks yang lebih spesifik lagi, terdapat beberapa asumsi yang menjadi rujukan tentang “manajemen qalbu”, atau manajemen hati agar hidup tetap terkendali.
Potret diri menjadi ukuran tentang siapa kita pada masa lalu dan pada masa kini bahkan pada masa mendatang.
Jika ada ungkapan yang mengatakan bahwa jangan pernah menyesali masa lalu, karena ia telah mengantarkan kita pada masa kini, tapi jangan pula melupakan siapa kita pada masa lalu, agar tidak terjebak pada perilaku “lupa diri”.
Hal itu penting, karena setiap orang yang hidup saat ini, sudah pasti melewati masa lalu yang di dalamnya tercakup sisi terang dan sisi gelap.
Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang berani mengatakan, bahwa hidupnya tidak pernah berada dalam ruang yang gelap dan kelam.. sehebat dan sesenang apapun seseorang, sudah pasti melalui 2 ruang yang berbeda itu. Karena sesungguhnya, hukum alam pasti berlaku bagi siapapun.
Masa lalu memang sudah lewat, masa sekarang pun, kelak akan menjadi masa lalu. Oleh karena itu, siapa kita pada masa kini adalah potret tentang diri kita pada masa lalu dan siapa kita saat ini, bisa saja memancarkan potret tentang wajah masa depan kita.
Oleh karena itu, waktu adalah goresan hidup yang tidak semestinya digores lagi dengan noda dan noktah.
Itulah sebabnya, dalam Al-Quran sangat jelas diisyaratkan “Demi Masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran”.
Paling tidak dari ayat ini dapat memberikan secercah pencerahan pada siapapun, bahwa iman, saling nasehat-mensehati dan sabar adalah instrumen penting tentang hakekat diri dan waktu serta kesempatan hidup.
Iman, syukur dan sabar merupakan perisai yang mampu memberikan bobot tentang hakekat hidup yang sesungguhnya. Sabar dalam mengendalikan hawa nafsu yang selalu memandang diri yang paling baik, paling benar dan paling hebat, sementara orang lain tidak.
Sabar untuk mengendalikan keangkuhan dan kesombongan terhadap kejayaan yang pernah menghinggap.
Potret diri sebagaimana pengertiannya, adalah mengarahkan lensa ke dalam diri sendiri yang darinya dapat diperoleh gambaran wajah kita yang sesungguhnya.
Faiz Nur Mashudi dalam blogernya pada bait terakhir menggoreskan tulisan yang sungguh bermakna sebagai berikut :
………”Percayakah kalian segala potret mampu merefleksikan makna kehidupan!.. ya, hidup ini bagaikan mozaic yang kepingan – kepingannya berserakan membuat hidup ini menjadi rumit. Melalui potret kehidupan kita rangkai lukisan hidup kita.
Namun, sejauh mana mata ini mampu memotret kehidupan yang amat luas dan tak terjangkau ini??.. Ibarat sebuah kamera, dia memiliki resolusi sebagai kemampuan untuk menghasilkan seberapa jernih output dari sebuah jepretan.
Dan mata kita memiliki kemampuan untuk meningkatkan resolusi tatapan yang tak terhingga. Luar biasa…
Terkadang keabstrackan hidup seseorang diperoleh akibat kurang mampunya mereka memotret makna kehidupan yang telah mereka lewati.
Ya, untuk menjalani hidup ini kita membutuhkan resolusi mata yang tak rendah, dengan berkembangnya kenaifan zaman, mata semakin dikaburkan oleh hal-hal yang membujuk pada sesuatu yang rendah.
Ketika yang kita tatap semakin abu – abu, itu merupakan indikator kita untuk kembali ke dalam diri kita masing – masing. Kembali kepada hati dan logika kita dan bertanya :“sudah mampukah kita memotret kehidupan ini dengan jernih, tanpa ada hal yang abu – abu??.”…….
Memotret diri memang membutuhkan kejelian “mata batin” yang fokus pada diri, bukan pada orang lain. Ketika mata hati dan mata batin fokus pada unsur rasa dan seni, maka disitulah nur atau cahaya itu berkedip dan memancar, sehingga diri kita melukiskan seribu untaian makna.
Potret diri, sebagaimana makna yang terkandung di dalamnya, di satu sisi merupakan buah dari frasa tentang kejelian hati dalam mengambil posisi, cara menempatkan diri secara ideal. Juga menjadi isyarat tentang ketajaman “mata” batin untuk memotret diri dengan sorotan lensa yang senantiasa mengedipkan cahaya yang mengandung sejuta makna.
Semoga saja ketajaman mata dalam memotret diri menghasilkan wajah dan gambar dengan resolusi yang sungguh memancarkan cahaya kedamaian, bukan resolusi yang berbalut tutur kata yang manis, tapi mengandung “bisa” yang seakan meredupkam gambar dan cahaya orang lain.
Lebih tegasnya, untuk terlihat bercahaya tidak harus meredupkan cahaya orang lain, untuk naik, tidak harus menjatuhkan dan untuk maju tidak harus menyingkirkan. (*)
Tinggalkan Balasan