Benarkah, Politik Itu Lebih Kejam dari Ibu Tiri? Ini Faktanya

Carles Ishak

YANG JAHAT BUKAN POLITIK, TAPI ORANG YANG MENGGUNAKAN POLITIK UNTUK HAL-HAL BURUK !!!

Oleh : Carles Ishak

Tragedi pembongkaran makam/kuburan beberapa saat lalu yang langsung viral dimana-mana, seketika mendatangkan berbagai macam reaksi publik dalam menyikapinya.

Rasa prihatin yang sangat mendalam komat-kamit di bibir para pendengar ketika berita ini tersebar luar di media. Kejadian seperti ini bukan baru pertama kali.

Masih lekat dalam ingatan kita, sebelumnya kejadian yang sama menimpa perhelatan Pilkades baru-baru ini. Pernah juga kejadian bongkar muat bangunan rumah, yang masih sama soal seputaran beda pilihan dalam kontestasi politik.

Hubungan kekerabatan dan kekeluargaan cerai-berai hanya gara-gara beda pandangan dan pilihan politik. Campur-aduk berkecamuk di hati publik menyaksikan semua kejadian tersebut. Hampir-hampir pernyataan yang sama dikemukakan “Haruskah sekejam itu politik?

Menjawab pernyataan itu, pasti beramai-ramai jawaban yang terlontar adalah “tidak”. “Politik bukan begitu”. Politik adalah proses olah hati dan pikiran. Politik adalah senyawa yang tertanam dalam ruh setiap orang agar dapat memanusiakan antar satu manusia dengan manusia lainnya serta manusia dengan alam dan makhluk sekitar.

Jawaban yang sungguh filosofis dan indah sebagai artikulasi makna politik yang sejati. Namun pada faktanya masih ada saja kejadian demi kejadian politik yang masih jauh dari nilai dan nalar.

Bahwa politik kita masih mengisahkan skandal moral dan memperkosa kesucian mahkota peradaban manusia. Apa penyebabnya?

Secara singkat kita bisa tafsirkan sementara, penyebab utama potret carut-marutnya politik kita adalah lemahnya upaya edukasi politik itu sendiri.

Dan edukasi politik yang paling punya pengaruh ampuh yakni ‘politik keteladanan’. Tontonan perilaku para elit politik akhir-akhir ini bisa jadi adalah salah satu faktor pemicu panas dinginnya peta politik bangsa ini baik pusat maupun daerah.

Suguhan tontonan lakon permusuhan serta narasi-narasi kebencian yang hampir setiap saat dicerna oleh otak besar masyarakat, secara langsung tanpa pertimbangan sedikitpun.

Perlahan-lahan membentuk politisasi watak dan karakter masyarakat. Yang akibat bahayanya adalah semua tontonan tersebut dijadikan sebagai tuntunan yang dipedomani kemudian melahirkan embrio fanatisme yang membabibuta tanpa kontrol.

Bahkan lepas kontrol. Jika demikian, pertarungan politik tahun 2019 ini bisa disebut sebagai “Politik nyaris kehilangan moral”.

Tak ada lagi kepastian moral dalam politik. Janji-janji pembangunan ke arah masa depan peradaban manusia hampir hilang dari ruang dialektika politik publik.

Bibit kehidupan seperti ini tidak boleh dibiarkan terlalu lama berkembang biak. Tugas-tugas negara yang melekat di lembaga penyelenggara dan pengawas Pemilu KPU dan BAWASLU harus lebih extra ordinary dalam bekerja, menjaga serta memastikan keberlangsungan demokrasi di negeri ini berjalan sebagaimana mestinya.

Para pelaku dan pengguna politik bersama-sama masyarakat di seluruh negeri ini, sudah saatnya mewaraskan kembali akal sehatnya masing-masing.

Segera hentikan segala kekacauan pikiran ini. Jika kita masih ingin menatap dan menyaksikan Ibu Pertiwi tak akan sekejam Ibu tiri dirumahnya sendiri. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.