HAK IMUN ANGGOTA DEWAN  (DPR RI / DPR-D) BUKAN KEKEBALAN HUKUM

Oleh:
Dahlan Pido, SH., MH./Praktisi Hukum/Advokat Senior.

 

Bahwa Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menyebutkan, Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya, kehidupan berbangsa dan bernegara berada dalam aturan-aturan hukum. Siapapun warga negara, baik memiliki kedudukan atau tidak, wajib tunduk dan patuh pada hukum, ini menunjukkan bahwa kehidupan kenegaraan didasarkan pada aturan-aturan hukum, baik secara tertulis maupun tidak.

Suatu negara disebut sebagai negara hukum yang demokratis bila memiliki kekuasaan kehakiman yang tidak saja independen, tetapi juga akuntabel, bersih, dan berwibawa. Kekuasaan Kehakiman di atas, idealnya akan menciptakan Peradilan yang bersih dan berwibawa, serta merupakan pendukung tegaknya negara hukum. Terkait hak imunitas anggota Dewan,  sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga UU MD3 (MPR, DPR RI, DPD dan DPR-D) secara optimal dalam menjalankan fungsi Legislasi, Pengawasan maupun Anggaran.

Dalam konteks ini anggota Dewan dilindungi hukum, dalam rangka melaksanakan tugas kedewanan sesuai fungsinya. Oleh karena itu, hak imunitas anggota Dewan tetap saja dapat diawasi jika melakukan pelanggaran, dengan melaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) atau Badan Kehorman (BK) yang mampu menerobos sekat itu.

MKD/BK ini  memberikan jalur bagi para pencari keadilan untuk bisa mengoreksi dan memastikan ada tidaknya pelanggaran kode etik atau Pidana yang dilakukan oleh anggota Dewan yang diadukan. Di MKD/BK ini setiap orang bisa melakukan pengaduan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Dewan dengan memenuhi syarat formil dan materiil.

MKD/BK hadir bukan untuk pelindung anggota Dewan yang melakukan pelanggaran/perbuatan buruk, tapi tujuannya supaya Lembaga DPR RI dan para anggota Dewan semakin dipercaya oleh masyarakat, serta mampu melaksanakan tugas kedewanan dengan sebaik-baiknya dan penuh kehormatan.

Anggota Dewan dapat diberhentikan apabila melanggar larangan sebagaimana tercantum dalam Pasal 236 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).
Tentang dalih dalam menjalankan fungsi Legislasi, Pengawasan maupun Anggaran tentu tidak bisa masuk ke Teknis Yudisial yang merupakan domain Kekuasaan Kehakiman.

Kalaupun terjadi pelanggaran etik oleh Pengadilan tentu kewenangan untuk mengusut hal tersebut adalah tugas Komisi Yudisial, bukan oleh anggota Dewan tertentu. Oleh karena itu, jika ada anggota Dewan yang melanggar kode etik atau tindakan pidana, maka itu merupakan kewenangan/dilaporkan ke Badan Kehormatan/BK untuk segera melakukan pemanggilan dan pemeriksaan, dan jika ada pidananya yang bisa dilaporkan ke Kepolisian. Anggota Dewan tidak boleh menghalang-halangi dan/atau melakukan intervensi terhadap proses penanganan tindak pidana, untuk seseorang itu masuk dan di hukum pidana.

Jika itu dilakukan berlebihan oleh anggota Dewan diluar koridor menjalankan fungsi Legislasi, Pengawasan maupun Anggaran, maka anggota tersebut bisa dilaporkan dengan menggunakan Pasal Pidana seperti ditentukan oleh:

Pasal 310 ayat (1) KUHP yang menentukan, barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hak itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 (Sembilan) bulan atau pidana.’

Sedangkan, Pasal 310 ayat (2) menyatakan, jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempel di muka umum, maka diancam degan pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama 1.4 (satu tahun empat) bulan.

Terkait hal di atas, pada Pasal 245 UU MD3 yang menyebutkan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota Dewan yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari MKD/BK yang memberikan persetujuan tertulis paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan dalam kurun waktu 30 (tiga puluh).

Ketentuan di atas dianggap sama dengan ketentuan Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang telah diputus  MK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan Konstitusi . Dalam putusannya, MK No. 73/PUU-IX/2011, menyatakan bahwa proses hukum penyidikan dan penyelidikan  terhadap kepala daerah tidak membutuhkan persetujuan dari Presiden.

Pasal 245 UU MD3 ini telah mencederai asas persamaan di muka hukum dan independensi Peradilan, yang meminta persetujuan dari pihak lain yang tidak terkait dalam sistem Peradilan Pidana, sama saja itu menunjukkan adanya intervensi. Selain itu, memberikan proses dan prosedur tambahan seperti persetujuan tertulis dalam penyidikan melalui lembaga MKD/BK yg tidak dikenal dalam sistem Peradilan pidana kita.

Hal ini bertentangan dengan asas persamaan di muka hukum yang memandang ada perlakuan berbeda terhadap warga negara lainnya dengan diberlakukannya Pasal 245 UU MD3 tersebut. Apapun jabatannya, anggota Dewan adalah subjek hukum yang tidak boleh dibedakan dengan warga negara lainnya di mata hukum

Sekian dan salam penulis.
Dahlan Pido, SH., MH./Praktisi Hukum/Advokat Senior.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.