Suasana foto bersama Kohati Komisariat IAIN Sultan Amai Gorontalo usai dialog memberingati Milad Kohati ke 50 tahun.
Suasana foto bersama Kohati Komisariat IAIN Sultan Amai Gorontalo usai dialog memberingati Milad Kohati ke 50 tahun.

RadarGorontalo.com – Korps Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)Wati (Kohati) genap berusia 50 tahun Sabtu (17/9/). Ketua Kohati Komisariat IAIN Sultan Amai Gorontalo, Agustin Abdullah mengatakan, milad ke 50 ini memiliki makna untuk Kohati. “Perempuan sebagai tiang negara, tentu bukanlah sesuatu yg asing didengungkan.

Tak hanya sebagai sosok lemah lembut yg penuh kasih sayang, tiang negara menggambarkan peranan perempuan yang mampu menjadi penopang bagi pasangannya, juga sebagai penopang keberhasilan suatu generasi yg mana jadi titik awal kebangkitan suatu bangsa,” kata Gustin.

Kohati (korps HmI wati) sebagai salah satu organisasi kemahasiswaan berlandaskan Islam pun banyak ambil andil dalam dinamika kebangsaan. “Salah satu faktor dibenfuknya Kohati adalah turut serta mempertahankan NKRI dan ikut mewarnai gerakan perempuan yg bernuansa hijau hitam,” tuturnya. Belum lagi beberapa tokoh perempuan hari ini yg tak lepas dari backgroundnya sebagai kader Kohati pun ikut serta dalam kemajuan bangsa dan negara.

Lebih lanjut Gustin, mengatakan 50 tahun sudah sejak Kohati berdiri, masih dengan tujuan mewujudkan muslimah berkualitas insan cita. “Maka perlu adanya pemaknaan kembali pada peranan Kohati hari ini. Tak hanya terlena pada nama besar Himpunan tempat bernaung, juga mampu menciptakan inovasi yg disertai oleh perbaikan secara kualitas diri. Kohati merupakan perpanjangan tangan untuk mewujudkan visi HmI, yang berorientasi pada isu dan gerakan keperempuanan.

“Tentu harus mampu keluar dari kungkungan sebagai followers gerakan, tapi mampu menjadi rumah produksi ide-ide pembaharu dalam menanggapi dinamika keperempuan di Indonesia khususnya di Gorontalo, tanpa melupakan corak keislaman,” ujarnya. Hal itu menurutnya sudah sangat jarang ditemui hari ini pada kader Kohati. Saat ini, lebih banyak terisolasi pada budaya patriarki yang mengurung potensi serta hasrat menuai benih revolusi, tak jarang menjadi penonton dalam perubahan bangsa.

“Padahal, perempuan yang anggun, lemah lembut, tapi juga tegas dan cerdas adalah gambaran yang harusnya menjadi karakter seorang kohati. Lemah lembut dalam tingkah laku, tegas dalam mengambil keputusan, juga cerdas dalam menuangkan buah pemikiran,” ketusnya. 50 tahun menurutnya bukanlah waktu yang singkat, untuk memaknai kembali panjangnya perjalanan Kohatu sejak 17 September 1966 hingga hari ini. Kohati hari ini dinilai perlu berbuat lebih, dan tidak sekedar menjadi penghias dalam menjamurnya organisasi kemahasiswaan yang ada di Indonesia . “Platform gerakan serta tujuan kohati sudah jelas tertuang dan patutnya menjadi landasan dalam bergerak.

Fokus pada satu issu serta mengkoordinasikan adalah upaya awal yang perlu dilakukan,” ucap Gustin. “Pembaharuan dalam tubuh kohati tak perlu muluk-muluk, melakukan sebagaimana kemampuan dan punya dampak nyata untuk masyarakat, tanpa merubah apa yg menjadi esensi di dalamnya. Pembaharuan pada kohati adalah kembali kepada fitrahnya, menguatkan karakter serta memahami peranan sebagai perempuan.” ujarnya. (rg-60)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.