
RGOL.com – Untuk mendapatkan para calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (capim KPK) yang berkualitas dan berintegritas serta mau kerja, tidak cukup dilakukan tahapan seleksi yang biasa-biasa saja.
Pengamat kebijakan publik, Melkior Wara Mas mengatakan, proses rekrutmen seperti di KPK wajib mendengarkan berbagai respon dari masyarakat. Meskipun ada yang berupa pujian, saran, kritikan,
Ia melihat saat ini para pendaftar capim KPK dari berbagai latar belakang profesi yang didominasi kalangan advokat, polisi aktif maupun pensiunan, hakim, jaksa, akademisi atau dosen, juga internal KPK sendiri baik dan pegawainya.
“Ini menunjukkan gambaran formasi lengkap dari unsur penegak hukum akan mengisi pimpinan KPK di periode berikutnya. Namun, tidak menjadi sebuah jaminan bahwa negara akan menang perang melawan korupsi,†ujarnya
Tanpa keteguhan komitmen, jelas dia, perang terhadap korupsi hanyalah slogan pepesan kosong.
Menurut Melki, ada banyak juga contoh kasus korupsi yang mangkrak seperti Century, BLBI, Pelindo II. Berkenaan dengan latar belakang profesi pendaftar calon pimpinan KPK justru banyak contoh kasus korupsi melibatkan oknum pengacara, oknum hakim, oknum jaksa, maupun oknum polisi,
“Jadi, tim seleksi sebaiknya menguji vitalitas komitmen calon komisioner menjadi pertimbangan utama. Perlu menimbang secara strategis keuntungan dan risiko dari komitmen yang mereka buat,†ujarnya.
Analis Data dan Informasi Perhimpunan Indonesia Muda ini menekankan, uji vitalitas komitmen itu diperlukan untuk menguji dan menilai bobot pengentasan korupsi.
“Tingkat kekonkretan yang tepat bergantung pada sifat komitmen, komitmen yang dipercaya, dan berani melawan korupsi. Namun tidak mudah memutuskan tipe komitmen yang paling cocok untuk situasi transisi kepemimpinan lembaga KPK hari ini,” jelasnya.
Lebih lanjut, Alumni PMKRI ini mengatakan, memang tidak ada aturan yang sukar dan cepat. Tetapi beberapa pedoman dan undang-undang pemberantasan korupsi dapat membantu untuk memilih komisioner KPK secara bijaksana.
“Seberapa dalam komitmen pribadi calon pimpinan? Konsistenkah komitmen ini dengan prestasi di masa lalu dan nilai -nilai pribadi? Dan mampukah memberi contoh spesifik tentang bagaimana mengubah perilaku sebagai hasil dari komitmen ini? Semua ini harus diuji dan diukur,†tutur Melki.
Kekuatan transformasional dari komitmen terletak dalam kemampuan untuk lepas dari masa lalu, dan itu memerlukan keberanian. Sebab, seringkali komitmen masa lalu merupakan halangan terbesar bagi vitalitas masa depan.
“Para pimpinan sukses dengan menekan visi yang jelas tentang masa depan dan membuat janji-janji yang konsisten dengan visi itu kepada lembaga dan publik,” ujarnya.
Menurut Melki, janji-janji ini sangat penting untuk memenangkan dukungan stakeholder, namun setelah beberapa waktu hal itu terakumulasi dan menjadi tali yang mengikat pimpinan dengan visi kabur.