Pelanggaran Administrasi Menjadi Pidana, Oleh: Dahlan Pido, SH., MH. (Praktisi Hukum)

Atau semua ini karena pembentukan opini seolah-olah ada korupsi besar yang terjadi dalam pekerjaan GORR atau adanya unsur politik yang menekan aparat penegak hukum untuk bertindak.

Perlakuan yang tidak adil ini masih ditambah dengan tindakan intimidatif dari kelompok yang selalu melihat pembangunan infrastruktur dan GORR adalah kejadian yang luar biasa yang penuh dengan tindak pidana korupsi, namun semua akan dibuktikan dalam perjalanan sidang yang saat ini sedang berlangsung di PN Tipikor Gorontalo, yang telah memanggil pejabat-pejabat Pemda Provinsi menjadi saksi, termasuk Gubernur dan Wakil Gubernur.

Sedangkan dalam Pasal 63 ayat 2 KUHP, jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.

Sehingga perbuatan pidana pemalsuan yang di atur dalam pasal 263 KUHP akan digantikan oleh peraturan yang lebih khusus yaitu pasal 9 UU No. 20 Tahun 2001, seperti yang penulis sebutkan di atas.

Kemudian kesalahan administrasi bisa dimasukan dalam Tindak Pidana Korupsi, jika terdapat unsur perbuatan melawan hukum, unsur menyalahgunakan kewenangan karena jabatannya atau kedudukannya.

Untuk tidak mendahului putusan Hakim, bahwa menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus AWB di GORR, harus jelas adanya persesuaian fakta dengan perbuatan pelaku yang bisa diungkap di persidangan, jika itu masih prematur maka selayaknya Majelis Hakim dapat memutuskan putusan yang seringan-ringannya bahkan bebas dari sanksi pidana.

Yang nyata ada unsur pegawai negeri, unsur yang di beri tugas sebagai KPA yang masuk dalam Tim 21 yang dibentuk dengan SK Gubernur, untuk menjalankan suatu jabatan secara terus menerus atau sementara waktu mengawal secara ketat pelaksanaan pembebasan lahan GORR, namun tidak ada laporan adanya pelanggaran kepada Gubernur.

Keadilan akan tercipta manakala seorang Hakim berani dalam melakukan sebuah penafsiran lebih mendalam terhadap suatu Pasal dengan didasarkan atas nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, merubah pola pikir legalistik-positivistik, jangan perbuatan melawan hukum hanya dimaknai terbatas pada rumusan teks yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan, tanpa memperdulikan nilai-nilai kepatutan dan keadilan.

Seorang Hakim sebagai pengemban kuasa yang diberikan oleh masyarakat, dituntut kepadanya untuk dapat menciptakan putusan yang mencerminkan tujuan dari hukum itu sendiri, yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan dengan berpedoman pada hukum itu sendiri, yang berpedoman pada UU dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.

Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat (the living law) yang merupakan cerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (social justice).

Untuk mendapatkan hukum yang baik dibutuhkan seorang Hakim yang memiliki pandangan progresif yang mampu menggali nilai-nilai yang terkandung dalam suatu Pasal, sehingga nantinya dapat menciptakan suatu putusan yang mencerminkan keadilan bagi masyarakat, terutama kepada AWB atau masyarakat lainnya yang mengalami hal yang sama. ###

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.