RGOL.ID GORONTALO – Oleh : Harjun Datu SE,M.Med.KomPengurus Asosiasi Petani Kelapa Indonesia Provinsi Gorontalo.
Tanaman kelapa merupakan salah satu tanaman asli Indonesia dimana sekitar 99,06 persen merupakan perkebunan rakyat atau dikuasai rakyat dari total perkebunan kelapa di Indonesia seluas 3,4 juta hektar dan selebihnya merupakan perkebunan besar swasta 0,83 persen serta perkebunan besar negara seluas 0,12% (Sumber data Dirjenbun Kementerian Pertanian RI, 2022).
Sesuai dengan kondisi tersebut, maka perkembangan dan peningkatan produksi kelapa sepenuhnya tidak terlepas dari partisipasi dari petani kelapa itu sendiri yang hampir mencapai 7 juta petani yang terlibat dalam usaha tani kelapa.
Namun disayangkan perhatian terhadap komoditi kelapa berbeda dengan perhatian pada komoditi pangan lainnya seperti sawit yang sebagian besar dikuasai oleh perkebunan besar swasta.
Menurut study yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Bogor bahwa petani kelapa pada umumnya tidak dapat memperoleh harga jual sesuai dengan harga pasar yang berlaku dan hal ini disebabkan selain faktor eksternal juga faktor internal petani itu sendiri, seperti produk kopra yang bermutu rendah dan petani selalu berada dalam posisi yang lemah sehingga akan sulit bagi petani untuk mempertahankan atau meningkatkan usahatani kelapa yang diusahakan.
Sehingga kondisi tersebut hanya akan menguntungkan para tengkulak atau pengumpul dalam mempermainkan harga di tingkat petani yang pada akhirnya menurunkan animo masyarakat petani kelapa itu sendiri dalam memelihara/meremajakan kembali serta meningkatkan produktivitas kelapanya.
Menurut hasil penelitian dari Aladin Nasution dkk, dalam rantai pasar kelapa, peran pedagang pengumpul tingkat desa merupakan lembaga yang sangat berperan.
Sehingga menurut mereka semakin besar peranan produk kelapa tersebut dalam pasar, maka makin lebih kompleks rantai pasar dan makin kecil harga yang diterima petani dibanding harga konsumen.
Sebagaimana data yang mereka sajikan bahwa pada kelapa segar yang diterima oleh para petani di Sulawesi Utara sebesar 50 persen dibandingkan harga konsumen, begitupun di Jawa Timur dan Jawa Barat masing-masing 37,9 persen dan 28 persen dibandingkan harga konsumen.
Trendy Boy Andilan, dkk pada journal yang dimuat oleh Universitas Samratulangi Manado Vol.12 No 4 Edisi Oktober-November 2019 mengungkapkan bahwa sebenarnya kelapa sangat memiliki prospek dalam usaha meningkatkan kesejahteraan petani, namun kebiasaan dan warisan selama ini petani hanya mengelola kelapa dalam bentuk kopra atau menjualnya dalam bentuk kelapa utuh tanpa menyadari bahwa kelapa utuh itu dapat menghasilkan beberapa produk turunan kelapa yang memilki nilai ekspor yang cukup tinggi dan menambah pendapatan dan kesejahteraan petani.
Dengan melihat potensi pohon kelapa sebagai tanaman multi fungsi dan multi guna dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga tani dan pelaku usaha kelapa maka perlu perhatian khusus terhadap peningkatan SDM Petani melalui intensifikasi produk dengan cara memanfaatkan seluruh komponen pohon kelapa. Hal tersebut sebagaimana dipertegas oleh Budiman Hutabarat dkk (1992) bahwa pengelolaan kelapa walaupun diperkirakan menguntungkan masih relatif sedikit ditangani di tingkat petani.
Menurutnya bahwa pemanfaatan tanaman kelapa diperkirakan baru mencapai 40 persen, sedangkan sisanya 60 persen merupakan potensi yang masih belum termanfaatkan. Keadaan ini menunjukan bahwa peluang mendapatkan nilai tambah berupa tambahan pendapatan bagi petani dan penciptaan lapangan kerja di pedesaan masih sangat terbuka bagi petani.
Menurut Budiman ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu perlakuan pasca panen belum dilakukan petani dengan baik karena mereka belum menguasai teknologi dan tidak memperoleh insentif atas upaya tersebut dan kedua perlakuan pasca panen dilakukan tapi mereka tidak mengerti atau menguasai hasil olahan tersebut.
Sebagai contoh dapat dilihat dari perbdedaan data produksi tahun 2007 yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir-Riau saja dari total perkebunan kelapa rakyat seluas 387.552 ha produksinya hanya mencapai 395.006 ton kopra/tahun dengan produktivitas hanya 1.02 ton/ha kopra, jika dibandingkan dengan perkebunan kelapa swasta besar yang ada di wilayah tersebut yang produktivitasnya mencapai 1,69 ton/ha kopra dari luas lahan 73.758 ha dengan produksi 124.805 ton kopra/tahun.
Angka ini menunjukan bahwa betapa perbedaan angka produktivitas dari perkebunan yang dikelola murni oleh masyarakat dengan perkebunan yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan kelapa. Dengan kata lain pemerintah dapat meningkatkan kesejahteraan petani kelapa dengan meningkatkan produktivitas kelapa mereka melalui intensifikasi dan ekstensifikasi kelapa sebagaimana yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta megingat sebagaian besar perkebunan kelapa dikuasai oleh rakyat.
Dengan demikian pembangunan di sektor perkebunan seharusnya memperhatikan kepentingan dan keterlibatan masyarakat untuk berperan serta baik langsung maupun tidak langsung guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya, karena prinsip dari keadilan sebagaimana tertuang pada sila ke lima dari Pancasila merupakan tujuan utama dari pembangunan selain dari pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya pembangunan juga betujuan memberikan hak setiap warga masyarakat untuk mengambil peran berdasarkan hak yang sama. Hadjisarosa dalam (Lutfi, 2006) mengungkapkan bahwa kriteria yang digunakan dalam menyatakan tingkat pertumbuhan suatu daerah ditentukan oleh tingkat kemudahan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Semakin besar tingkat kemudahan pada suatu tempat, berarti semakin besar daya tariknya untuk menarik sumber daya kegiatan ekonomi untuk datang ke tempat tersebut.